Cipinang Melayu merupakan salah satu nama kelurahan di Jakarta Timur. Asal usul nama Cipinang diperkirakan berasal dari kata Ci yang dalam bahasa sunda berarti air atau kali. Sedangkan kata Pinang berasal dari nama pohon pinang. Kata Cipinang diperkirakan berawal dari kali yang di sisinya banyak tumbuh pohon pinang. Kata Melayu diperkirakan dari penduduk yang menempati wilayah di sekitarnya adalah orang Melayu.
Wilayah Cipinang Melayu dialiri oleh aliran sungai dari Kali Sunter yang termasuk tanah rendah. Di tanah rendah ini terdapat sawah dan sebagian empang. Namun karena kebutuhan lahan untuk tempat tinggal cukup tinggi, sawah-sawah di sana diubah menjadi areal pemukiman penduduk dengan cara mengurug sehingga tidak banjir ketika musim hujan tiba.
Memasuki abad ke-19, seperti terlihat dalam peta Hindia-Belanda, muncul sedemikian banyak tanah partikelir dengan nama Tjipinang. Mulai dari Tjipinang, Tjipinang Besar, Tjipinang Ilir, Tjipinang Udik, dan Tjipinang Tenger. Dalam peta berikutnya, beberapa nama lama menghilang berganti nama baru; Tjipinang Pisangan, Tjipinangmoeara, Tjipinangpondokbamboe, Tjipinangbaroe, Tjipinangmelajoe, Tjipinang Vrededal, dan Tjipinang.
Spruijt Tjipinang dan tanah-tanah partikelir di bantarannya dalam peta Batavia en Omstreken 1925. (Sumber: colonialarchitecture.eu) Berikutnya, dalam Garnizoenskaart Batavia en Omstreken, Tjipinang berbiak lagi; Tjipinang Vradedal, Tjipinang, Tjipinang 1, 2, 3, 4, 5, Tjipinangmelajoe, Tjipinangbaroe, Tjipinangoedik, Tjipinang Pondokbamboe, dan Tjipinang Rawabangke. Sebelum
kedatangan Jepang, Tjipinang masih terus membelah diri dan memunculkan nama baru; Tjipinang Kampoeng Gedong, Tjipinang Djembatan Kompeni, Tjipinang Pangkalan, selain nama-nama yang sudah ada. Spruijt Tjipinang dan tanah-tanah partikelir dan permukiman penduduk dalam Garnizoenskaart Batavia en Omstrekan 1934. (Sumber: colonialarchitecture.eu)
Di era Jakarta modern, kita menemukan Cipinang sebagai nama-nama kelurahan di Jakarta Timur. Di Kecamatan Jatinegara terdapat Kelurahan Cipinang Besar Selatan, Cipinang Besar Utara, Cipinang Cempedak, dan Cipinang Muara. Di Kecamatan Makasar terdapat Kelurahan Cipinang Melayu. Sedangkan di Kecamatan Pulo Gadung terdapat Kelurahan Cipinang.
Cipinang menjadi nama paling banyak dipakai, dan mungkin yang terbanyak jika seluruh wilayah peninggalan Hindia-Belanda yang menggunakan nama Cipinang dipertahankan, salah atunya Tjipinang Rawa Bangke – kini menjadi Kelurahan Rawa Bunga. Lainnya adalah Tjipinang Pangkalan, Tjipinang Vrededal, Tjipinang Kampoeng Gedong, dan Tjipinang Djembatan Kompeni.
Spruijt Cipinang
Cipinang, seperti disebutkan di atas adalah nama sungai yang berhulu di rawa-rawa Cimanggis dan bermuara di Sungai Sonthar (Sunter – red), adalah nama lokal yang diadopsi VOC saat mulai memetakan Ommelanden sebelah timur. Asal-usul Cipinang relatif tak diketahui, karena sungai telah ada ratusan tahun sebelum VOC datang dan menjarah lahan. Jika mencari akar katanya, Cipinang terdiri dari dua kata; ‘ci’ dan ‘pinang’. Ci atau ‘cai’ adalah kata dalam Bahasa Sunda yang berarti air. Kata ‘ci’ kerap digunakan untuk menyebut sungai, kali, dan rawa-rawa. Sedangkan pinang adalah sejenis tumbuhan palem (Areca catechu). Tidak ada kisah tentang sungai dengan banyak pohon pinang di kedua sisi yang bernama Cipinang. Restu Gunawan, penulis buku Gagalnya Sistem Kanal, mengatakan kajian ilmiah dan riwayat Sungai Cipinang tidak ditemukan dalam arsip VOC dan Hindia Belanda. Sungai Cipinang tidak menjadi fokus perhatian pemerintah kolonial karena terlalu kecil dengan kedua sisinya didominasi rawa-rawa7.
Namun, Sungai Cipinang era industri tebu Ommelanden sempat menjadi urat nadi transportasi. Di sepanjang bantarannya bertebaran perkebunan tebu, suikermolen atau penggilingan tebu dan pabrik gula. Dari lokasi produksi, gula dikirim melalui Sungai Cipinang, masuk ke Sungai Sunter, dan sampai di gudang-gudang VOC dan Hindia-Belanda. Sungai Cipinang kehilangan fungsinya sebagai sarana transportasi setelah industri gula Ommelanden meredup. Sarana transportasi yang dibangun kemudian untuk membawa produk pertanian dari tanah-tanah partikelir dan perkebunan, membuat Sungai Cipinang terlupakan. Mungkin hanya penduduk sekitar bantaran yang masih mengingatnya karena menggunakan airnya. Sungai Cipinang menyita perhatian publik Jakarta sekitar tahun 1980-an, ketika hampir setiap tahun pemukim disepanjang bantarannya mengalami kebanjiran. Pengubahan fungsi lahan dan pertumbuhan penduduk tak terkendali disepanjang bantaran membuat Sungai Cipinang kehilangan rawa-rawa dan area resapan air. Sungai Cipinang menjadi tertuduh penyebab banjir di permukiman di setiap musim penghujan. Tanah Partikelir Cipinang Mungkin tidak berlebihan jika Spruijt Cipinang tidak menjadi fokus perhatian VOC. Andries Teisseire, salah satu tuan tanah kulit putih terbesar di Ommelanden, hanya sekali menyebut Cipinang dalam catatan perjalanannya ke sekujur Ommelanden tahun 1792. Itu pun Cipinang sebagai spruijt yang menumpahkan airnya ke Sungai Sunter. Ia sama sekali tidak membicarakan bidang tanah di kedua sisi Spruijt Cipinang dan eksploitasinya. Sejenak melihat lebih ke belakang, setelah Gubernur Jenderal Cornelis Speelman menugaskan Letnan Tanoe Djiwa membuka bidang tanah di salah satu sisi Spruijt Cipinang, tidak ada resolusi yang menyebut tanah itu diberikan kepada siapa. Bahkan setelah tanah itu terpetak-petak, tidak ada laporan kepada siapa tanah-tanah itu dijual. Survei tanah partikelir yang dibuta tahun 1790 juga tidak menyebut tanah-tanah di sepanjang Spruijt Cipinang dan pemiliknya. Landheer, atau tuan tanah kulit putih, dari kalangan petinggi VOC saat itu seperti WVH van Riemsdijk, Jacobus van Aytsma, Paul Bergman, Martinus Jacobus Balje, Johannes Christoffel Schultz, dan Hendrik Isaac Guitar, seolah
mengabaikan potensi Cipinang. Bidang tanah Cipinang diperkirakan mulai dieksploitasi pada paruh pertama abad ke-19, ketika Hindia-Belanda berupaya mendayagunakan hampir setiap jengkal tanah jajahan untuk mendongkrak perekonomian pasca Perang Diponegoro, dan Gubernur Jenderal Van den Bosch menjalankan tanam paksa. Meski demikan tidak ada catatan tentang tanah-tanah di sekujur Cipinang saat itu.
Tanah-tanah Cipinang seakan mulai tereksploitasi pada paruh kedua abad ke-19. Nama-nama tanah Cipinang mulai muncul di Regerings-Almanak voor Nederlandsche-Indie, dimiliki landheer kulit putih dan Tionghoa, dengan pemukiman penduduk di dalamnya. Namun, tanah-tanah Cipinang relatif tidak dieksploitasi sebagai perkebunan komoditi ekspor.
Regerings-Almanak voor Nederlandsche-Indie 1867 memperlihatkan lima bidang tanah Tjipinang; Tjipinang Pisangan, Tjipinang Rawa Bangke, Tjipinang Vrededal, Tjipinang Pondok Bamboe, Tjipinang 1, dan Tjipinang 2, dikelola sebagai penghasil kelapa, rumput, dan hanya sedikit yang diubah menjadi sawah. Situasi ini berlanjut sampai pergantian abad, dengan Tjipinang Vrededal – atau Tjipinang Tanah yang Damai – sempat diubah menjadi perkebunan vanili tahun 1877 sampai 187810. Kemungkinan atas ketidak berlanjutan budidaya vanili adalah banjir yang melanda bantaran Spruijt Cipinang setiap tahun membuat tanah-tanah itu hanya bisa digunakan untuk budi daya tanaman keras.
Cipinang di Era Jakarta Modern Sejumlah kelurahan di Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur, yang menggunakan nama Cipinang saat ini bukan lagi tanah-tanah partikelir peninggalan Hindia-Belanda dengan batas-batasnya. Penataan kota Jakarta yang berlangsung sejak 1950-an telah menghapus batas-batas tanah partikelir sekujur Cipinang saat pembentukan kelurahan. Meski demikian, jika melihat peta Batavia abad ke-20 dan membandingkannya dengan peta Kecamatan Kramat Jati saat ini, kita mungkin masih bisa menerka kelurahan ini dan itu adalah eks tanah partikelir atau bukan. Kelurahan Cipinang Muara adalah wilayah tanah partikelir Tjipinangmoeara sampai ke Moeara
Kelurahan Cipinang Besar Selatan adalah eks tanah partikelir Tjipinang Besar, dan Kelurahan Cipinang Besar Utara adalah eks tanah partikelir Tjipinang Vrededal. Kelurahan Cipinang Cempedak masih sama seperti tanah partikelir Tjipinangtjempedak. Kelurahan Kampung Melayu dan Rawa Bunga sebenarnya tanah partikelir dengan nama Tjipinang di depannya. Penataan wilayah Jakarta menanggalkan nama Tjipinang saat keduanya menjadi kelurahan. Di Kecamatan Pulo Gadung, wilayah Kelurahan Cipinang saat ini adalah tanah partikelir Tjipinang.
Di Kecamatan Makasar, Kelurahan Cipinang Melayu sama dengan kampung dan eks tanah partikelir Tjipinangmelajoe. Mungkin yang membedakan adalah wilayah Kelurahan Cipinang Melayu memanjang dengan batas di utaranya adalah Kecamatan Duren
Sawit dan Jatinegara. Sebagai sungai kecil, Cipinang memberi identitas bagi banyak wilayah di sepanjang bantarannya. Identitas yang bertahan selama lebih dua ratus tahun. Penjara Cipinang 1945. Setelah menyerah, Inggris menampung penjahat perang Jepang di penjara ini.