Arti Nama Cakung Setiap kata yang menjadi nama selalu punya arti. Demikian pula Cakung. Mengutip surat kabar Bataviaasch nieuwsblad terbitan 15 Mei 1909, Akhir Matua Harahap menemukan arti Cakung, yaitu katak. Ensiklopedia Bebas Wikipedia mengidentifikasi Cakung sebagai kata dalam Bahasa Sunda yang digunakan penduduk untuk menyebut salah satu spesies katak, yaitu Polypedates macrotis6. Penjelasannya tentang hewan ini cukup menarik. Cakung atau canguk adalah katak pohon berwarna hijau, tetapi ada juga yang cokelat, dan bertubuh kecil. Telapak kaki dapat melekat di pohon, yang memungkinkannya melompat dari satu ke lain dahan tanpa terjatuh.
Tubuh ringan memungkinkan Cakung merayap di dahan rapuh. Cakung mampu berkamuflase dengan menyesuaikan warna kulit dengan keadaan sekitar. Sebagai hewan nocturnal, Cakung mencari makan di malam hari untuk menghindari predator. Penjelasan lain dalam Wikipedia edisi Bahasa Inggris7 menyebutkan Cakung hidup di beberapa wilayah di Asia Tenggara; semenanjung tengah Thailand, Sumatera, Kalimantan, Kepulauan Sulu (Filipina), dengan berbagai nama; katak sarang, katak gelembung Bongao, katak cambuk Baram, katak pohon Bongao, dan lainnya. Tidak hanya di Indonesia katak ini menjadi nama wilayah. Di Sarawak (Malaysia), katak ini disebut Baram dan menjadi nama wilayah Distrik Baram. Pulao Bongao disebut-sebut mengacu pada penyebutan nama katak ini di masyarakat Melayu Kepulauan Sulu.
Cakung Era Industri Gula Ommelanden Sejarawan Bondan Kanumoyoso, dalam Beyond the city wall : society and economic development in the Ommelanden of Batavia, 1684-1740, menulis dari semua kegiatan ekonomi di Ommenlanden, industri gula adalah salah satu yang penting8. Semula, VOC memiliki dua wilayah produksi gula di Asia; Taiwan dan Batavia. Setelah terusir dari Taiwan tahun 1662 oleh Zheng Chenggong (Coxinga), loyalis Dinasti Ming, VOC sepenuhnya bergantung pada Ommelanden sebagai penghasil gula untuk memenuhi permintaan Eropa. Cakung adalah bagian Ommelanden, atau kawasan tembok luar kota Batavia, dengan kelimpahan air dari Sungai Cakung, tanah yang subur, dan ketersediaan kayu untuk memasak gula. Anugerah alam ini membuat Cakung ideal untuk pembukaan lahan tanaman tebu dan industri gula. Orang-orang Tionghoa menjadi pemain penting dalam industri gula Ommelanden. Mereka menyewa tanah kepada tuantuan Belanda, mendatangkan tenaga dari tanah kelahiran mereka, dan membuka perkebunan tebu. Berikutnya, mereka mendirikan penggilangan tebu, dan menggunakan kayu dari tanaman apa pun yang ada di tanah yang mereka sewa untuk memasak sirop menjadi gula. Sungai-sungai di Ommelanden tidak hanya menyediakan air bagi perkebunan tebu, tapi juga berfungsi sebagai sarana transportasi gula dari pabrik-pabrik gula ke gudang milik VOC di tepi pantai. Sungai Cakung, Pesangrahan, Ciliwung, Grogol, Sunter, dan Kali Bekasi, ramai oleh hilir-mudik perahu pengangkut gula sepanjang paruh kedua abad ke-17 dan setelahnya. Sebelum Pembantaian Cina di Batavia 1740, hampir seluruh perkebunan tebu di Ommelanden milik kalangan elite komunitas Tionghoa. Phoa Bingham, kapten Cina di Batavia dan pembangun Kanal Molenvliet, memelopori pembukaan perkebunan di Tanah Abang tahun 1648. Berikutnya, kapten-kapten dan letnan Tionghoa di Batavia, membuka perkebunan dan penggilingan tebu. Kapten Lim Keenqua meminta izin pembukaan dua penggilingan tebu di Ommelanden. Kapten Nie Hoe Kong, pemimpin masyarakat Tionghoa Batavia saat pembantaian terjadi, punya 14 penggilingan tebu dan pabrik gula di Ommelanden. Pemilik perkebunan, penggilingan, dan pabrik tebu tidak hanya kalangan Tionghoa Batavia, tapi juga industriawan dari Fujian, selatan Cina. Mereka lebih tahu cara menanam tebu dan menghasilkan gula dengan biaya lebih efisien. Sampai 1710, menurut arsip Hoge Regering, Ommelanden sesak oleh 130 penggilingan tebu dan pabrik gula.
Cakung mungkin salah satu wilayah cukup banyak penggilingan tebu, dengan Kelurahan Penggilingan saat ini sebagai pusatnya. Di sini, puluhan penggilingan berjajar di dua sisi jalan kampung yang kini bernama Jl Penggilingan. Setelah Pembantaian Tionghoa 1740 industri gula Ommelanden ambruk, dengan hanya sembilan penggilingan tebu dan pabrik gula yang masih aktif di Ommelanden. Namun, industri gula Ommelanden tidak benar-benar habis. Permintaan yang tinggi di Eropa, membuat industri gula bangkit lagi dalam sepuluh tahun kemudian. Tercatat 100 penggilingan tebu dan pabrik gula menyebar di Pulau Jawa, dengan Ommelanden masih menjadi primadona. Meski tidak lagi seperti dekade pertama abad ke-18, pada 1750 terdapat 80 penggilingan tebu dan pabrik gula di Ommelanden. Wilayah Cakung dan sekitarnya kembali hidup dengan aktivitas penanaman dan penggilingan tebu. Industri gula menyerap banyak tenaga kerja. Sebelum 1740, kebanyakan pekerja industri gula adalah imigran Tionghoa. Sebagian dari mereka datang secara resmi, tapi lebih banyak yang berstatus pendatang gelap. Mereka mendarat tidak di pelabuhan tapi di pantai utara Batavia, dan segera bergerak ke lokasi industri gula yang jauh di Ommelanden. Setelah 1740, pekerja industri gula tidak lagi didominasi etnis Tionghoa. Banyak dari mereka adalah pribumi berstatus budak atau penduduk dari berbagai tempat di Pulau Jawa. Pemilik perkebunan gula, atau penggilingan tebu, menampung mereka di woningen, atau perumahan semi-permanen.
Pembangunan woningen inilah yang ditengarai mengawali pembentukan kampung-kampung atau desa di sekujur Ommelanden. Kampung-kampung di Cakung Sebelum pergantian abad dan VOC bangkrut, industri gula Ommelanden merosot meski tidak benar-benar mati. Penyebabnya, biaya produksi semakin mahal akibat kelangkaan kayu bakar. Industri gula yang tidak disertai manajemen lingkungan menjadi bencana. Banyak vegetasi, tumbuhan yang menempati satu ekosistem hilang. Contoh paling menarik adalah Cangkring, tanaman semak yang menjadi cikal bakal Cengkareng, hilang begitu saja akibat industri gula Ommelanden. Meski tumbuhan ini mudah dijumpai saat ini, tapi di wilayah yang menggunakan namanya tumbuhan ini nyaris tidak ada lagi. Nasib serupa juga dialami tanaman dadap di wilayah bernama Kampung Dadap di Tangerang. Ketika industri gula meredup, tanah-tanah partikelir dengan mudah berpindah tangan. Pekebun kulit putih seolah tidak melihat ada komoditi ekspor yang menguntungkan selain gula. Kalau pun ada, mungkin tidak bernilai ekonomi tinggi. Saat itu tanah-tanah partikelir di sekujur Ommelanden dengan mudah berpindah tangan. Pekebun Belanda, yang relatif menjadikan tanah sebagai alat spekulasi, mengalihkan kepemilikan ke investor yang mencoba berbisnis di sektor perkebunan. Dalam Staat deer Partikuliere Landerijen tahun 1865 9, land Cakung – bersama Ujung Menteng dan Pondok Kelapa – dimiliki A Robertsen dan dikelola JP Gray sebagai penghasil padi. Sebagai pemilik tanah partikelir, A Robertsen adalah tuan di atas tanahnya dengan penduduk yang hidup di dalam wilayannya berstatus kawula. Sebagai kawula, atau bawahan, penduduk diwajibkan membayar belasting – pajak atas tanah yang merupakan bagian dari hasil panen – serta mengikuti kompenian, yaitu bekerja di tanah yang dikelola langsung sang tuan. Jika tidak bisa menaati dua aturan itu, pemukim akan diusir. Ketika Teisseire kali pertama mengunjungi Cakung di pertengahan abad ke-17 hanya ada satu kampung di hulu Sungai Cakung. Tahun 1870, seperti tertera dalam Bevolkingstatistiek van Java 187010, Cakung memiliki 12 kampung dengan 3616 penduduk di dalamnya. Rincinya, enam pemukim Eropa, 3.548 pribumi (inlander), dan 62 Tionghoa. Enam tahun kemudian, seperti tertera dalam Staat der Partikuliere Landerijen11 Cakung berpindah tangan ke tuan tuang Tionghoa bernama Khouw Tjeng Ke12, dengan pengelola Thio Sian Law. Saat itu penduduk tidak hanya sekedar menanam padi, tapi juga kelapa dan kacang-kacangan. Khouw Tjeng Ke adalah bagian dari Keluarga Khouw yang menguasai tanah-tanah sekujur Bekasi dan sebagian Jakarta Timur saat ini. Keluarganya mempertahankan kepemilikan atas tanah tanah partikelir itu sampai memasuki abad ke-20.
Riwayat Cakung sebagai tanah partikelir berakhir tahun 1938, ketika pemerintah Hindia-Belanda membeli kembali tanah itu bersama Teluk Pucung. Dalam buku Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan dan Kemakmuran Rakjat Indonesia karya Mochamat Tauchid13 disebutkan Telukputjung dan Tjakung, yang masuk Kabupaten Djatinegara, adalah tanah partikelir yang sudah dibeli dan menjadi Agrarische Landen. Sebelum kedatangan Jepang, Cakung – bersama puluhan tanah partikelir di sekujur Ommelanden – telah kembali dibeli. Pembelian itu juga mengakhiri status Keluarga Khouw sebagai tuan tanah terkaya di Pulau Jawa. Cakung memulai era modernnya sendiri. Seiring perkembangan Jakarta, Cakung berubah dari hamparan lahan pertanian menjadi kawasan industri dengan kempung-kampung penduduk asli dan pendatang berkembang dan padat.
Kecamatan Cakung merupakan salah satu Kecamatan dari 10 (sepuluh) Kecamatan di wilayah Kota Administrasi Jakarta Timur, yang terletak di bagian Timur Jakarta dan merupakan pintu gerbang masuk wilayah DKI Jakarta dari sebelah Timur. Kecamatan Cakung dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Gubernur KDKI Jakarta Nomor D.I-17805/a/30/75 tanggal 15 Desember 1974 tentang Perubahan Batas Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 151 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Penetapan Batas Wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta dengan Daerah Tingkat I Jawa Barat bahwa wilayah Kecamatan Cakung semula terdiri dari enam Kelurahan, yakni tiga kelurahan dari wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Bekasi Jawa Barat (Kelurahan Cakung, Ujung Menteng, dan Pulo Gebang) dan tiga dari pecahan Kecamatan Pulo Gadung DKI Jakarta (Kelurahan Jatinegara, Rawaterate dan Penggilingan).
Pada Perkembangannya, terjadi pecahan kelurahan dalam wilayah Kecamatan Cakung, yaitu dengan diterbitkannya Keputusan Gubernur KDKI Jakarta Nomor 1251 Tahun 1986 tentang Pemecahan, Penyatuan, Penetapan Batas dan Luas Wilayah serta Perubahan Nama Kelurahan yang sama/kembar di DKI Jakarta. Berdasarkan Keputusan tersebut, Kelurahan Cakung dipecah menjadi dua Kelurahan, yaitu Kelurahan Cakung Timur dan Kelurahan Cakung Barat. Dengan demikian wilayah Kecamatan Cakung terdiri dari tujuh Kelurahan terdiri dari Kelurahan Jatinegara, Kelurahan Penggilingan, Kelurahan Rawaterate, Kelurahan Cakung Barat, Kelurahan Cakung Timur, Kelurahan Ujung Menteng, dan Kelurahan Pulo Gebang.