Gedong adalah kata dalam dialek Betawi untuk menyebut ‘gedung’. Kelurahan Gedong mendapatkan namanya karena adanya gedung paling megah dalam sejarah tanah parikelir Ommelanden, atau kawasan luar tembok kota Batavia, bernama Groneveld Tandjoeng Oost – sebuah rumah pendesaan (landhuis) yang dibangun Pieter van den Velde, pemilik pertamaTandjoeng Oost1.
Topographische Kaart der Residentie Batavia 1866 tidak mencantumkan nama Gedong. Yang ada hanya LH, kependekan dari landhuis. Dalam Batavia en Omstreken 1925, nama Gedong muncul untuk menggantikan LH. Garnizoenskaart Batavia en Omstreken 1934 memunculkan banyak nama Gedong, yaitu Gedong 1, 2, 3, dan 4. Kelurahan Gedong saat ini adalah Gedong 4 dalam peta itu.
Keterangan di bawah peta menunjukan Gedong 4 adalah permukiman dengan banyak penduduk. Gedong 1,2, dan 3, terletak di tanah partikelir Tjipinang. Sedangkan Gedong 5 masih bagian tanah partikelir Tandjoeng Oost yang teridentifikasi sebagai permukiman jarang penduduk. Tidak ada penjelasan soal sedemikian banyak nama Gedong dalam peta itu2. Gedong bukan satu-satunya sebutan untuk rumah batu peninggalan VOC dan Hindia-Belanda. Penduduk Betawi yang bermukim di tanah partikelir kerap menyebut landhuis dengan sebutan kongsi atau gedung kongsi, atau gedong tingi, dan lainnya. Entah bagaimana administratur permukiman Hindia- Belanda memilih nama Gedong untuk permukiman penduduk didekat Groneveld Tandjoeng Oost.
Gedong, Ratu Banten, dan Tuan Guntur Saat masih menjabat onderkoopman, pedagang muda dalam hirarki bisnis VOC, Van den Velde mengakuisisi banyak bidang tanah. Ia memulainya dengan membeli sebidang tanah yang disebut Tandjong, kemudian mengambil alih tanah-tanah
kapiten der Chineezen Batavia Nie Hoe Kong selama Pembantaian Tionghoa 1740, dan mencomot sebagian tanah Adipati Cianjur Wiratanoe Datan. Tahun 1746, Van den Velde mengajukan izin pembangunan rumah pedesaan di atas tanah Tandjong yang berada di tepi Sungai Ciliwung.
Tahun 1750, Van den Velde memulai pembangunan itu. Namun ia tak lama menempati rumah impiannya karena meninggal pada 7 Agustus 1759 setelah menulis surat wasiat yang menempatkan Sara Jacoba, putrinya, sebagai ahli waris tunggal. Namun Sara Jacoba masih berstatus dalam pengawasan negara karena belum dewasa.Akhirnya diputuskan Tandjoeng Oost, beserta budak, ratusan kerbau yang tersimpan di kandang di Cawang, dan tanah Cikeas, dijual. Pembelinya adalah opperkoopman (pedagang kepala – red) Pieter Joan Bangemann dan mantan guru anak yatim Adriaan Jubbels. Jubbels menjadi eksekutor dan penguasa penuh Tandjoeng Oost setelah Bangemann meminta separuh hak-nya.
Di atas tanah bagiannya Bangemann membangun pabrik gula, pasar, dua pabrik zaitun, dua kandang besar, rumah pedesaan, dan lainnya. Setelah itu Tandjoeng Oost dengan Groneveld di atasnya berpindah dari satu ke lain tangan; Jacobus Johannes Craan, Catharina Johanna Margaritha Craan, Willem Vincent Helvetius Van Riemsdijk, Daniel Cornelius Helvetius Van Riemsdijk, Dina Cornelia Helvetius Van Riemsdijk, Michiel Ament, Daniel Cornelis Ament, Eduard Corneille Collet Ament, Daniel Cornelis Ament, Sonia Renee Ament (1891-1951)
Tandjoeng Oost populer tidak hanya dihuni orang-orang besar VOC dan Hindia Belanda, tapi juga dikunjungi banyak pembesar kolonial. Tahun 1749, seperti dinarasikan Dr I van de Wall dalam Oude Hollandsche Buitenplaatsen van Batavia, Gubernur Jenderal VOC Baron van Imhoff menghabiskan beberapa hari bersama Ratu Syarifah Fatimah, penguasa Kesultanan Banten. Herman William Daendels tidak pernah menyambangi
tempat ini, tapi menikmati keramahan salah satu pemiliknya. Suatu hari, dalam perjalanan kembali ke istananya di Buitenzorg, kereta kuda yang ditumpangi Daendels rusak. Tuan Guntur,
demikian penduduk lokal menyebut Daendels, turun dari kereta dan ikut memeriksa kerusakan. Di belakang Daendels, Daniel Cornelius Helvetius Van Riemsdijk melihat insiden itu. Ia memerintahkan kusirnya untuk berhenti di lokasi kecelakaan kereta kuda Daendels. Van Riemsdijk menawarkan kereta kuda-nya untuk digunakan Daendels. Daendels menjawab; “Saya dengan senang hati menerima tawaran Anda. Anda sangat sopan dan cerdas, karena tahu betul jika Anda tidak menawarkan kereta kepada saya, saya akan mengambil kebebasan untuk memintanya. Terima kasih.” Daendels melanjutkan perjalanan ke Buitenzorg, Van Riemsdijk berjalan kaki ke Groneveld di bawah terik matahari yang membakar ubun-ubun. Orang besar lain yang berkunjung ke Tandjoeng Oost adalah Hertog Adolf Friedrich von Mecklenburg-Schwerin, saudara laki- laki Pangeran Hendrik dari Belanda. Kunjungan berlangsung tahun 1923. Konsulat Jerman di Hindia-Belanda mencatat kunjungan terjadi pada 19 April. Tiga tahun kemudian, ketika minat terhadap rumah-rumah tua Hindia-Belanda meningkat, landhuis Groneveld Tandjoeng Oost ramai pengunjung. Eduard Corneille Gollet Ament menjadi tuan rumah yang baik bagi siapa pun yang mendatangi rumahnya. Dua anggota Keluarga Ament berikut yang berkuasa di rumah itu relatif tidak menikmati keindahan pendahulunya, karena Hindia Belanda memasuki era Jepang dan proses dekolonisasi.
Pemukim (Kampung) Gedong
Dr Van de Wall tidak bercerita tentang penduduk lokal yang bermukim di sekitar Groneveld Tandjoeng Oost, tapi sebuah lukisan mushola – dalam keterangan foto disebut Mohammedan Temple – dengan rumah-rumah penduduk di belakangnya telah
cukup memberi gambaran landhuis dikelilingi rumah penduduk. Rumah-rumah itu berdinding anyaman bambu dan beratap rumbia. Mushola sangat kecil, dibangun di atas tanah untuk melindunginya dari binatang buas. Ada beduk di depan musholla, yang mengindikasikan pemukim di sekeliling landhuis adalah masyarakat Betawi.
Gedong hanya satu dari 30 kampung di sekujur Tandjoeng Oost pada tahun 1870. Tidak ada catatan spesifik berapa penghuni Gedong, karena Bevolkingstatistiek van Java 1870 mencatat angka penduduk seluruh kampung di atas tanah partikelir. Tandjoeng Oost, yang masuk Distrikt Meester Cornelis, Afdeeling Meester Cornelis, berpenduduk 6.144 pribumi, 307 Tionghoa, dan lima Eropa. Jika dihitung rata-rata, setiap kampung di Tandjong Oost dihuni 204 jiwa. Gedong kemungkinan berpenghuni sebanyak itu pada 1870, dengan kemungkinan meningkat setiap tahun karena angka kelahiran dan perpindahan penduduk.
Pemukim Gedong bisa siapa saja; petani penggarap lahan dan pekerja di tanah partikelir, pekerja di landhuis, dan penduduk pribumi bebas yang menyewa tanah untuk digarap. Rumah besar seperti Groneveld Tandjoeng Oost membutuhkan banyak tenaga untuk merawat halaman nan luas, membersihkan setiap bagian rumah secara berkala, dan melayani tamu. Pekerja tidak mungkin tinggal terlalu jauh dari landhuis karena transportasi saat itu sangat sulit. Penduduk Gedong tampaknya menikmati keramahan setiap tuan penguasa Tandjoeng Oost, sampai akhirnya menjadi permukiman mapan dengan banyak penduduk.