Jatinegara Kaum
Jangan cari nama Jatinegara Kaum di peta VOC dan Hindia Belanda. Itu bukan nama kampung bentukan kolonial, dan tidak pernah jadi tanah partikelir. Namun, kita dapat mencari jejaknya dengan berpatokan pada Sungai Sunter, Jalan Perdagangan, tanah partikelir Jatinegara dan Rawamangun.
Dalam peta Batavia en Omstreken, Jatinegara Kaum membentang antara Kampung Jati sampai ke Cipinang Muara, dengan batas sebelah barat adalah tepi Sungai Sunter dan sebelah timur jalan perdagangan. Nama Jatinegara Kaum lebih dulu ada sebelum land, atau tanah partikelir Djatinegara terbentuk. Bahkan sebelum tanah-tanah partikelir di sekelilingnya muncul dalam peta.
Negara Sejati
Pada 31 Mei 2023 Jatinegara Kaum -- kini salah satu kelurahan di Kecamatan Pulo Gadung, Jakarta Timur -- tepat berusia 404 tahun. Usia permukiman ini dihitung sejak Pangeran Ahmed Jakatra tiba di tempat itu tahun 1619, membuka hutan, mengeringkan rawa, membangun rumah-rumah penduduk, masjid, dan menamakan wilayah barunya Jatinegara, yang artinya Negara Sejati.
Kata 'kaum' muncul belakangan karena selama lebih seratus tahun pertama -- atau mungkin lebih -- Jatinegara adalah perkampungan eksklusif, alias hanya dihuni keturunan prajurit Banten dan keluarga Pangeran Ahmed Jakatra yang lari dari Jayakarta saat VOC membumi-hanguskan permukiman mereka. Artinya, Jatinegara saat itu adalah perkampungan tertutup bagi pendatang dari mana pun.
Alwi Shahab, wartawan Republika dan penutur sejarah Jakarta, menulis permukiman pertama Jatinegara Kaum terletak antara penjara Cipinang dan Pulo Gadung. Masjid dibangun tak jauh dari tempat Pangeran Ahmed Jakatra bermukim, dan kini bernama Masjid Ash-Salafiyah1. Di masjid ini, Pangeran Ahmed Jakatra dan pengikutnya bersumpah merebut kembali Jayakarta. Semangat itu diwariskan ke anak cucu sang pangeran dan keturunan prajurit Banten secara berkesinambungan. Namun keterpisahan dengan pusat kekuasaan dan sarana transportasi yang sulit, membuat komunikasi antara pengikut Pangeran Ahmed Jakatra dan Kesultanan Banten tak berjalan lancar. Seiring waktu tekad merebut Jayakarta abadi sebagai impian.
Meski demikian, jika melihat catatan harian (dagregister) VOC antara 1647-1658, pengikut Pangeran Ahmed Jakatra adalah ancaman laten bagi stabilitas Batavia. Pada 5 Maret 1748, misalnya, muncul kabar Kesultanan Banten akan menyerang dan menghancurkan Batavia. Terjadi kepanikan di dalam kota, yang membuat VOC sibuk menenangkan masyarakat multinasional kota kolonial itu2.
Ancaman konstan dari Banten dan prajurit Pangeran Ahmed Jakatra memaksa Hoge Regering, atau pemerintah agung VOC pada 11 Juli 1656 memutuskan untuk membangun sejumlah benteng pertahanan di sekitar kota. Surveyor tanah Johannes Listingh, misalnya, ditugaskan merancang benteng tanah Fort Jacatra di Sungai Besar di tenggara kota3.
Pada 2 Januari 1678 Kapten Frederick Muller mendapat kabar pasukan Banten, dalam jumlah ratusan, bergerak menuju Cilincing. Pemimpin kampung-kampung kolonial menginformasikan hal serupa. Kapten Frederick bergerak menyongsong pasukan Banten setelah lebih dulu melepas tembakan meriam untuk mengidentifikasi jarak lawan.
Keanehan terjadi. Di bawah guyuran hujan deras pasukan VOC dan Banten bertemu tapi tidak saling menyerang. Pasukan Banten bergerak lambat akibat kedinginan. Kapten Muller tak memberi komando penyerangan meski lawan hanya beberapa meter saja. Dalam catatan yang diberikan ke Hoge Regering, Kapten Muller menulis sebagian pasukannya menderita sakit demam dan tak cukup tenaga untuk melakukan pertempuran jarak dekat4.
Entah sampai kapan Jatinegara Kaum mempertahankan semangat perlawanan terhadap VOC. Yang pasti, setelah terjadi perebutan kekuasaan tahun 1692 -- yang mengakhiri kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa dan Sultan Haji berkuasa atas dukungan VOC -- tidak terdengar lagi gerakan pasukan Banten dan Jatinegara Kaum yang mengancam Batavia.
Menariknya, VOC tidak pernah mengganggu enclave keturunan Pangeran Achmad Jakatra dan prajurit Banten di Jatinegara Kaum. Tidak ada informasi terjadi pengusiran oleh VOC dan Hindia-Belanda saat tanah-tanah di sekelilingnya dipetakan dan menjadi tanah partikelir. Bahkan VOC menggunakan Jatinegara sebagai nama tanah partikelir di sisi timur Sungai Sunter.
Memelihara Identitas
Masyarakat Jatinegara Kaum mungkin tidak akan pernah menjadi orang Betawi. Mereka menjaga semua tradisi Banten. Salah satunya, menurut Alwi Shahab, perempuan Jatinegara Kaum tidak boleh menikah dengan orang luar untuk memelihara keturunan. Jika dilanggar, dan menikah dengan orang luar, keturunan mereka tidak boleh memakai gelar raden.
Masyarakat Jatinegara Kaum juga mematuhi seluruh nasehat Pangeran Ahmed Jakatra. Salah satunya, tidak boleh memukul gong. Untuk yang satu ini, ada cerita menarik yang dituturkan sesepuh Jatinegara Kaum. Tahun 1978, saat Mendagri Amirmahmud meresmikan kantor Perusahaan Air Minum (PAM) di tepi Kali Sunter, gong yang handak dipukul mengalami putus tali.
Penduduk Jatinegara Kaum percaya tali gong putus akibat Pangeran Ahmed Jakatra tak berkenan. Peristiwa itu memperkuat kepercayaan masyarakat untuk terus menjaga tradisi dengan tidak menggelar pertunjukan wayang golek dan gambang Kromong di Jatinegara Kaum5.
Makam Ahmed Jayakarta terletak di Jatinegara Kaum dan sampai saat ini masih diziarahi penduduk sekitar dan orangorang Banten. Masjid Ash-Salafiyah selalu ramai oleh masyarakat sekitar dan dari luar. Jatinegara Kaum bukan sekedar kampung, atau enclave masyarakat Banten, tapi simbol perlawanan terhadap kolonialisme yang tak pernah usai.