Kecamatan Makasar adalah sebuah kecamatan yang terletak di Jakarta Timur, Jakarta. Kecamatan ini kemungkinan dahulu kala adalah kampung Makasar, ditilik dari namanya. Penduduknya berjumlah 223.479 jiwa (2024) sedangkan luasnya adalah 2.197,31 Ha.
Sejarah Penamaan Kampung Makasar
Kawasan yang dahulu termasuk Kampung Makasar ini meliputi wilayah kelurahan Makasar dan sebagian dari wilayah Kelurahan Kebon Pala, Kecamatan Kramatjati, Kotamadya Jakarta Timur. Disebut Kampung Makassar, karena sejak tahun 1986 dijadikan tempat pemukiman Suku Makassar, di bawah pimpinan Kapten Daeng Matara (De Haan 1935:373).
Dalam Lontaraq Bilang atau catatan harian Kesultanan Gowa Tallo pun menyebut pada 7 Januari 1727 "Di kabarkan bahwa I Daeng Mattara meninggal di Jakattaraq". Lidah orang Makassar menyebut dan menulis Jakattaraq yang berarti Jayarkarta, yang pada akhirnya direbut oleh VOC Belanda dan mengganti nama ini menjadi Batavia.
Mereka adalah bekas tawanan perang yang dibawa ke Batavia setelah Kerajaan Gowa, di bawah Sultan Hasanuddin tunduk kepada Kompeni yang sepenuhnya dibantu oleh Kerajaan Bone dan Soppeng (Colenbrander 1925, (II):168: Poesponegoro 1984, (IV):208). Pada awalnya mereka di Batavia diperlukan sebagai budak, kemudian dijadikan pasukan bantuan, dan dilibatkan dalam berbagai peperangan yang dilakukan oleh Kompeni. Pada tahun 1973 mereka ditempatkan di sebelah utara Amanusgracht, yang kemudian dikenal dengan sebutan Kampung Baru (De Haan 1935:373). Mungkin merasa bukan bidangnya, tanah di Kampung Makassar yang diperuntukan bagi mereka itu tidak mereka garap sendiri melainkan disewakan kepada pihak ketiga, akhirnya jatuh ketangan Frederik Willem Preyer (De Haan 1935:373; 1910:57). Salah seorang putri Daeng Matara menjadi istri Pangeran Purbaya dari Banten yang memiliki beberapa rumah dan ternak di Condet, yang terletak disebelah barat Kampung Makassar (De Haan 1910:253). Perlu dikemukakan, bahwa pada tahun 1810 pasukan orang – orang Makassar oleh Daendels secara administratif digabungkan dengan pasukan orang – orang Bugis (De Haan 1925:373). Pada awal abad kedua puluhan, menjadi milik keluarga Rollinson (Poesponegoro 1986, (IV):295), “… tanggal 5 April (1916, pen.), yaitu ketika Entong Gendut memimpin gerombolan orang – orang berkerumun di depan Villa Nova, rumah Lady Rollinson, pemilik tanah partikelir Cililitan Besar”