Sejarah Pasar Rebo
Tahun 1746, setelah membeli sebidang tanah yang disebut Tandjong dan mengambil alih tanah-tanah milik kapiten der Chinezen Ni Hoe Kong, Pieter van den Velde saat itu menjabat konsul luar biasa Dewan Hindia meminta izin membangun rumah pedesaan dan menyelenggarakan pasar seminggu sekali di Dregterland dan Tandjong, di sisi timur Sungai Ciliwung. Tahun 1760, Van den Velde memulai pembangunan rumah yang kini dikenal sebagai Groneveld Tandjoeng Oost1.
Andries Tesseire, salah satu tuan tanah Ommelanden yang sering blusukan ke tanah-tanah partikelir, menuliskan kesan kunjungannya ke Groneveld Tandjoeng Oost tahun 1792. "Tandjoeng Oost memiliki tempat tinggal yang luas dan sebuah pasar yang diadakan setiap hari Rabu2."
Dua informasi di atas telah cukup untuk menggambarkan bagaimana Pasar Rebo, salah satu kecamatan di Jakarta Timur, terbentuk. Namun, tidak ada informasi kapan Van den Velde membangun dan membuka pasar itu setiap hari Rabu? Lainnya, apakah nama pertama lokasi aktivitas niaga itu bernama Pasar Rebo.
Akhir Matua Harahap dalam tulisannya di poestahadepok.blogspot.com 18 Juni 2019 mengutip Aardrijkskundig en statistisch woordenboek van Nederlandsch Indie yang terbit tahun 1869 untuk memastikan Pasar Rebo dibangun tahun 1762. Lebih jelasnya, dalam terbitan itu terdapat kalimat De marktplaats te Tandjong Oost werd reeds den 2 Julij 1762 opgerigt’, artinya Pasar di Tandjoeng Oost didirikan 2 Juli 17623.
Penduduk kulit putih menyebutnya Pasar Tandjoeng Oost. Sedangkan penduduk lokal, terutama mereka yang mengangkut hasil bumi dari tanah partikelir di sekitarnya, menyebutnya Pasar Rebo karena pasar hanya dibuka pada hari Rabu. Rebo adalah dialek lokal untuk menyebut hari Rabu.
Entah sejak kapan nama Pasar Rebo diterima secara resmi menggantikan Pasar Tandjoeng Oost. Akhir Matua Harahap, dalam tulisan yang sama, mengatakan nama Pasar Rebo kali pertama muncul di koran Bataviaasch nieuwsblad edisi 10 April 1899. Pertanyaannya, pers Hindia-Belanda menyebut Pasar Rebo sebagai apa; pasar atau entitas lain?
Topographische Kaart der Residentie Batavia 1866 tidak mencantumkan Pasar Rebo4. Sedangkan peta Batavia en Omstreken 1925 dan Garnizoenskaart Batavaia en Omstreken 19345 mencantumkan Pasar Rebo – tertulis di dua peta itu Pasarrebo – dengan keterangan ‘permukiman’, bukan pasar.
Nasib Pasar Minggu mungkin sedikit lebih baik. Setelah sekian lama menjadi pasar, Pasar Minggu tercatat dalam peta setelah berdiri halte kereta api Batavia-Buitenzorg 1873. Permukiman di Pasar Minggu saat itu relatif kecil, tapi sebagai aktivitas transaksi Pasar Minggu relatif sejajar dengan Pasar Rebo.
Bertransformasi
Tidak ada cerita bagaimana Pasar Tandjoeng Oost, atau Pasar Rebo, bertransformasi dari pasar menjadi permukiman. Sebagai pasar, Pasar Rebo dipastikan berkembang dari tahun ke tahun, dengan aktivitas niaga melebar ke tanah-tanah di sekelilingnya.
Pembentukan kampung, dengan pemukim dari luar tanah partikelir Tandjoeng Oost, diperkirakan terjadi sebelum VOC bangkrut di penghujung abad ke-18. Saat itu, College van Heemraden – atau dewan pengurus Ommelanden – cenderung tutup mata terhadap kedatangan orang-orang dari luar dan membentuk permukiman baru selama tidak menimbulkan masalah keamanan.
Pieter Joan Bangeman dan Adriaan Jubbels, mantan kepala pedagang VOC dan guru di rumah yatim piatu yang mengambil alih Tandjoeng Oost dari Keluarga Van den Velde, seolah tidak acuh dengan perkembangan pasar. Keduanya, seperti dinarasikan Dr I van de Wall dalam Oude Hollandsche Buitenplaatsen van Batavia, lebih suka sibuk membangun dua kandang besar untuk sapi-sapi, pabrik gula, dan menambah bangunan Groneveld Tandjoeng Oost.
Van de Wall juga tidak menyinggung sedikit pun bagaimana perkembangan Pasar Tandjoeng Oost ketika tanah partikelir berpindah dari satu ke lain tangan landheer sampai dekade kedua abad ke-20. Kisah Tandjoeng Oost, dengan rumah pedesaan mewah dan indah, hanya tentang orang-orang kaya dan terhormat yang datang dan pergi.
Perkembangan permukiman di sekitarnya, serta 400 budak di dalam tanah partikelir – yang kerap diperjual-belikan saat tanah partikelir berpindah tangan – mungkin hanya menjadi catatan properti yang tak terceritakan. Ketika administrasi Batavia mendata kembali kampung-kampung di Ommelanden, barulah Pasar Rebo masuk dalam daftar.
Bevolkingstatistiek van Java 1870 yang disusun Peter Bleeker hanya menyebut pemukim Tandjoeng Oost. Disebutkan, Tandjoeng Oost membentang 19 pal, memiliki 30 kampung, dengan total penduduk 6.456, terdiri dari lima orang Eropa, 307 Tionghoa, dan lainnya pribumi6.
Sebagai permukiman, dan juga pasar, Pasar Rebo terus berkembang. Di masa dekolonisasi, ketika Belanda berupaya mencengkeram kembali tanah jajahannya, Pasar Rebo menjadi onderdistrik di bawah Distrik Kramat Jati, Residentie Ommelanden van Batavia yang berpusat di Depok berdasarkan Bestuurorganisatie Batavia en Ommelanden tahun 1949.
Usai Konferensi Meja Bundar (KMB) dan penyerakan kedaulatan, Pasar Rebo berubah menjadi kecamatan dengan luas wilayah mencapai Cipayung dan Ciracas. Pertimbangan pemerintah kota Jakarta saat itu adalah jumlah penduduk di wilayah sekelilingnya masih jarang. Saat itu Pasar Rebo adalah kecamatan gemuk dengan 18 kelurahan.
Lewat Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 1990, Pasar Rebo menjadi kecamatan yang membawahi lima kelurahan; Baru, Cijantung, Gedong, Kalisari, dan Pekayon7.
Sumber :
https://books.google.co.id/books?id=P8ps1rDy1rsC&printsec=frontcover&dq=Andries+Teisseire%22&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwiNp9zQ8pPjAhXXK80KHfShDH0Q6AEIKjAA#v=onepage&q=slipi&f=false
Akhir Matua Harahap dalam Sejarah Jakarta (58): Sejarah Pasar Rebo dan Landhuis Tandjoeng Oost; Sejak Era VOC Jadi Pusat Perdagangan Jalur Oosternweg. https://poestahadepok.blogspot.com/2019/06/sejarah-jakarta-58-sejarah-pasar-rebo.html