Kelurahan Baru di Kecamatan Pasar Rebo,
Jakarta Timur, bukan nama baru. Nama ini telah ada sejak
lama. Peta Hindia-Belanda paruh pertama abad ke-19
mencantumkan nama Baru, tertulis dalam ejaan lama; Baroe,
sebagai permukiman kecil di antara Kalimati dan Cijantung1.
Dalam peta tahun tahun 1925, Baroe – terletak di tepi Sungai
Cijantung – adalah dua blok pemukiman besar yang dikelilingi
persawahan dan perkebunan kelapa2. Terakhir, dalam
Garnizoenskaart Batavia en Omstreken 1934, Baroe berubah
menjadi Kampoengbaroe3.
Ada dua Kampoengbaroe di tepi Sungai Cijantung, yaitu
Kampoengbaroe 8 dan 9. Keterangan di bawah peta menunjukan
keduanya adalah permukiman jarang penduduk dengan rimbun
pohon bambu. Di sebelah timur kedua kampung itu terbentang
sawah-sawah, dengan tanah lapang di tengahnya.
Baroe adalah kata yang disematkan untuk permukiman yang
muncul belakangan di antara kampung-kampung yang lebih dulu
mapan. Kampoengbaroe, atau Kampung Baru, adalah nama yang
digunakan pemukim untuk menyebut entitas tempat tinggalnya.
Tidak ada cerita tentang Baroe atau Kampoengbaroe era
Hindia-Belanda. Perkiraan paling mungkin adalah penduduk
lokal mulai bermukim di Baroe pada paruh pertama abad ke-19.
Tanah partikelir Tandjoeng Oost yang sedemikian luas
membutuhkan banyak pekerja saat dieksploitasi untuk
pertanian berbagai komoditas.
Hutan bambu di lahan tak tergarap menjadi tempat paling
ideal bagi pemukim baru. Ketersediaan bahan bangunan
dominan, berupa bambu, membuat pemukim awal dengan cepat
membangun rumah-rumah. Proses ini bukan tanpa pengawasan
penguasa tanah partikelir.
Seperti pembentukan kampung-kampung penduduk asli di
Ommelanden, pemerintah Hindia-Belanda cenderung tidak
memainkan peran mengontrol arus pemukim baru ke tanah
partikelir. Sebab, tanah partikelir tidak ubahnya negara dalam
negara. Bahkan Andries Teissiere – salah satu tuan tanah
terbesar di Ommelanden – kerap menyebut tanah partikelir
dengan sebutan ‘negara
Tidak ada informasi berapa jumlah penduduk Baroe saat
nama kampung itu masuk dalam peta. Yang lebih menarik adalah
sampai 1925, Baroe masih diidentifikasi sebagai kampung jarang
penduduk. Terakhir, ketika menjadi Kampoengbaroe,
permukiman ini – seperti tergambar di peta tahun 1934 – berupa
hamparan pohon bambu dengan sedikit rumah.
Di era modern, informasi tentang Kelurahan Baru juga
terbilang langka. Berbeda dengan Kelurahan Gedong dan
Kalisari, informasi Kelurahan Baru terbatas pada kode pos dan
batas-batas kelurahan.