Pulo Gadung
Arsip VOC Hindia dan Belanda tak konsisten menuliskan nama Pulo Gadung, kini nama kecamatan dan kelurahan diJakarta Timur. Regerings-Almanak voorNederlandsche-Indie, misalnya, menulis Poeloe Gadong, Poelo Gadong, Poeloe Gadoeng, dan Poeloe Gadoeng. Penulisan dalam empat peta juga beragam; Poloe Gadong, Poeloegadoeng, dan Poelogadoeng.
Sedangkan dalam arsip VOC, saat wilayah ini diserahkan kepada Soeta Annem lewat Resolusi 1675 dengan tanggal penyerahan 22 April tahun yang sama, tertera Poelo Gadongh1. Tidak ada penjelasan siapa Soeta Annem. Spekulasi yang paling mungkin Annem adalah seorang pemimpin masyarakat Jawa di Ommelanden, atau kawasan tembok luar Batavia. Bersama komunitasnya, Annem menetap dan mengolah tanah di sebuah pulo -- tanah datar di tepian sungai atau pinggir jalan – saat VOC mengukur dan memetakan wilayah itu. Nama Pulo Gadung diperkirakan berasal dari masyarakat Jawa, yang relatif lebih dulu mengenal tanaman gadung (Dioscorea hispida) dan mengkonsumsinya.
Penggunaan kata ‘gadong’ sebagai nama pertama Pulo Gadung juga tidak sepenuhnya keliru. Gadong artinya tumbuhan merambat2. Tanaman gadung adalah jenis umbi-umbian merambat memanjat, dengan arah rambatan berputar ke kiri3. Tidak jelas sampai kapan Soeta Annem dan pengikutnya bermukim di Pulo Gadung. Tahun-tahun setelah abad ke-17 seolah tidak mencatat nasib tanah partikelir Pulo Gadung dan sekitarnya, serta pertumbuhan masyarakat di dalamnya. Andries Teisseire, salah satu tuan tanah Ommelanden, hanya mencatat singkat soal Pulo Gadung dalam kunjungannya tahun 1780-an.
Pulo Gadung yang dikujungi Teisseire saat itu adalah landgoed, atau perkebunan. Lebih tepatnya bentang sawah seolah tanpa ujung dengan sedikit tanaman lain di atasnya, terutama kelapa. “Ada rumah batu yang telah dibongkar empat tahun lalu karena telah tua, dan pasar yang diadakan setiap Jumat. Martinus Cobus Balje, pemilik Pulo Gadung, Tjiakon (Cakung – red) dan Soekapoera, membangun rumah batu di setiap tanahnya,” tulis Teissier.4
Sumber lain, seperti ditulis Akhir Matua Harahap di poestahadepok.blogspot.com, menyebutkan Pulo Gadung setelah abad ke-17 dikelola DE Brauns, seorang pedagang VOC5. Pulo Gadung saat itu dibelah Gegravene Sonthar, atau Penggalian Sunter, yang berbelok di Wilgenburg dan lurus ke ‘t Fort Antsjol6.
Gegravene Sonthar membuat Pulo Gadung menjadi perlintasan dari tanah-tanah partikelir di sekitarnya. Pulo Gadung, masih menurut Akhir Matua Harahap, menjadi terkenal saat itu dengan tol air yang ramai oleh perahu membawa komoditas ekspor dari Tjitrap (Citeureup – red) sampai Tjilintjing (Cilincing).
Pulo Gadung sepanjang paruh pertama abad ke-19 relatif tak diketahui. Java government gazette, 13-06-1812, seperti dikutip Akhir Matua Harahap, menyebut tanam itu dimiliki landheer Tionghoa bernama Li Tjong – marganya tak disebut. Setelah itu Pulo Gadung kembali ke tangan pemerintah, yang saat itu bukan lagi VOC tapi Hindia-Belanda.
Akhir Pulo Gadung
Tidak ada catatan tentang Pulo Gadung selama empat dekade sejak tanah itu kembali ke pemerintah. Tahun 1865 Pulo Gadung muncul dalam Staat der Partikuler Landerijen, Sebagai tanah partikelir milik Ong Boen Seng cs. Sekujur tanah dikelola sebagai persawahan dan perkebunan kelapa7. Dua tahun berikut, seperti tertera dalam Staat der Partikuliere Landerijen In 1869, Ong Boen Seng bermitra dengan Ong Soon Nio sebagai pemilik Pulo Gadung. Namun keduanya tidak mengelola sendiri tanah itu, tapi menyewakannya ke H Purvis – landheer kulit putih8. Kepemilikan ini bertahan sampai 18759.
Tahun 1870, Pulo Gadung dihuni 1.962 jiwa. Rincinya, 70 Tionghoa dan 1.855 pribumi10. Seluruh penduduk menghuni enam kampung yang menyebar di sekujur tanah partikelir. Tidak ada penjelasan soal jumlah keluarga, dan fasilitas yang ada di setiap kampung. Di ujung abad ke-19, kepemilikan atas Pulo Gadung berubah. Bersama Soekapoera, Pulo Gadung dikelola dan dimiliki Cultuurmaatschappij Poeloe Gadoeng en Soekapoera dengan Tan Tam Long sebagai pengelola. Tidak ada yang berubah dari Pulo Gadung. Kalau pun ada, pengelola menyisakan sedikit tanah untuk budi daya rumput11.
Jumlah penduduk Pulo Gadung tak diketahui, karena pemilik mendata pemukim di dua tanah partikelir-nya. Jelasnya, penduduk Pulo Gadung dan Sukapura saat itu berjumlah 3.597 jiwa. Tidak ada penjelasan soal jumlah keluarga, dan lainnya12. Lima tahun kemudian jumlah penduduk Pulo Gadung dan Sukapura menjadi 4.298 jiwa13.
Tahun 1917 terjadi perubahan. Regerings-Almanak voor Nederlandsche-Indie menulis tanah partikelir itu sebagai Poeloe Gadoeng of Patoekangan. Of adalah kata dalam Bahasa Belanda yang artinya ‘atau’. Pemiliknya adalah Cultuurmaatschappij Poeloe Gadoeng, dengan Oey Kim Eng sebagai pengelola dan penyewa. Pulo Gadung saat itu adalah rumah bagi 3.386 jiwa.
Terakhir, tahun 1929, Soen Hoek Tan menyatukan Pulo Gadung dengan Sukapura. Persawahan masih terbentang, dengan lahan budi daya rumput di berbagai tempat. Saat itu kedua tanah partikelir ini adalah rumah bagi 3.446 jiwa. Tidak ada rincian berapa pribumi, Tionghoa, dan Eropa14. Dua dekade setelah penyatuan itu, nasib Pulo Gadung tak diketahui. Sebelum Belanda hengkang dari Indonesia, Pulo Gadung dibeli kembali oleh pemerintah Hindia Belanda. Landgoed seluas 1.442 hektar menjadi stadslanden, atau tanah negara15 dengan semua penghuni di dalamnya meneruskan aktivitas sebagai petani.
Pulo Gadung adalah sejarah dan akan selalu menjadi sejarah setelah Indonesia merdeka. Di era Jakarta modern, Pulo Gadung adalah bagian pembangunan industri Republik Indonesia. Pulo Gadung Era Modern: DPRD DKI Jakarta meninjau Kawasan Industri Pulo Gadung 14 Maret 1978. Pulo Gadung di era modern dikenal dengan dua hal; Terminal Bus Antarkota yang kerap kebanjiran penumpang saat jelang Idul Fitri dan Kawasan Industri yang mempercepat denyut ekonomi nasional.